PERMINTAANKU

Mungkin ini adalah permintaanku paling sederhana untukmu.

Kamu seharusnya paham, aku memilihmu tanpa pilihan. Sebelum bertemu kamu, lebih dari ratusan hari aku sangat menikmati yang namanya sendiri, tapi saat itu waktu seolah menyuruhku untuk aku tidak sendiri lagi.

Aku percaya, sendiri memang bisa bahagia, tapi berdua (denganmu), sebuah bahagia akan lengkap.

Asal kamu mengerti, jika aku diberi kelebihan untuk bisa memperlambat bahkan menghentikan waktu, waktu yang aku habiskan dengan kamu lah yang akan aku perlambat jalannya.

Mungkin kamu berpikir bahwa aku berbeda, berbeda dengan aku beberapa waktu lalu, yang setiap saat, setiap waktu aku bisa dengan mudahnya bersikap romantis kepadamu. Asal kamu mengerti, semakin bertambahnya hari, yang aku pikirkan bukan hanya hal romantis apalagi yang akan aku beri untukmu, melainkan bagaimana agar kamu tetap nyaman dan betah denganku. Aku bukan berbeda, aku tetap seperti yang kemarin awal kita berkenalan. Hanya saja, sekarang, membuatmu tidak berkekurangan dalam hal apapun, adalah prioritasku. Jadi tolong pahami jikalau suatu waktu aku sibuk, karena aku tahu, cinta saja tidak cukup.

Aku memulai permintaanku dari sini. Bantu aku untuk menjaga apa yang sudah aku punya; “kita”.

Akan selalu ada badai, akan selalu ada rintangan untuk kita, Sayang. , tidak perlu takut, gemetar, dan khawatir. Genggam tanganku, aku temani kamu sampai badai paling terakhir.

Selamat Ulang Tahun

6 juni 2016 pukul 22.30, ngantuk dan ingin tidur, sudah pasti,. Tapi sudah aku putuskan untuk bertahan sejenak, aku hanya ingin mengucapkan sebuah kalimat sederhana, selamat ulang tahun kepada seseorang tepat pukul 00:01 pada 7 juni 2016.

Sambil memandangi langit-langit kamar, aku terus memutar-mutar handphone di tangan kananku. Ada berbagai macam pikiran yang sedang mengusikku saat ini. Pikiran yang berpusat pada satu nama.

Aku melirik jam dinding. Pukul 22.30, cukup larut, untukku yang besok masih harus bangun pagi untuk sebuah rutinitas, bekerja. Namun untuk sebuah alasan yang sejak tadi ada di dalam otakku, aku berusaha mempertahankan kelopak mataku agar tidak tertutup sekarang.

“Sebentar lagi..” gumamku sambil terus-terusan melihat jam dinding dan juga handphoneku. “Cuma satu setengah jam lagi, dan abis itu aku bisa tidur..” lanjutku layaknya orang gila, berbicara sendiri malam-malam begini.

Tidak banyak yang aku lakukan. Aku hanya diam di atas kasurku, memeluk gulingku dan berlindung di bawah selimutku. Sesekali aku mengetuk-ngetukkan jari-jariku di atas kasur, sekedar untuk membuang waktu.

Belum ada satu jam berlalu, mataku sudah hampir terpejam. Dan itu menyebalkan. Aku tidak ingin semuanya menjadi sia-sia di saat-saat yang paling mendekati seperti sekarang ini, bisikku pada hatiku sendiri.

Dengan menahan ngantuk yang teramat sangat, aku terus berusaha untuk terjaga. Untuk sebuah pesan kecil, pesan kecil yang harus aku sampaikan saat ini juga.

Meski hanya nyamuk-nyamuk menjengkelkan yang menemaniku, tapi aku terus berusaha bertahan.

Lagi-lagi aku melirik handphoneku, dan aku tersenyum tipis ketika aku sadar waktu yang aku tunggu akan segera tiba. Hanya lima menit lagi. Ahh, jadi terdengar seperti lagu dangdut, pikirku. Dan tiba2 saja aku tersenyum sejenak sebelum aku pejamkan mataku, untuk sepatah dua patah doa.

“Hanya ini, yang bisa aku lakukan untuk kamu. Mendoakanmu Semoga kamu selalu baik-baik saja, dan bahagia. Semoga kamu, tidak pernah mengecewakan siapapun yang menyangimu, dan semoga kebahagiaan tidak pernah menjauh dari kehidupanmu..”

“Selamat ulang tahun sayang..” ucapku dalam hati, kali ini seolah berbisik pada angin, sambil berharap diam-diam, angin akan membawa ucapanku untuk dia yang dari tadi aku tunggu hari kelahirannya, untuk dia yang mungkin saat ini sedang lelap tertidur.

Hanya ini. Hanya untuk ucapan selamat ulang tahun dan aku telah terjaga hingga hari berganti ke tanggal 7 juni 2016, tepatnya hanya untuk mendoakannya dan aku tidak terlelap sejak tadi meski aku bisa. Hanya untuk ungkapan rasa syukur yang aku lakukan dengan diam-diam dan sendiri.

Untuk dia. Untuk cinta yang selalu ada. Untuk menjadi pengucap pertama dan orang yang pertama kali mendoakannya di hari ulang tahunnya

Puas dengan apa yang aku lakukan tadi. Dengan segera aku menuju alam mimpiku, yang memang sudah menanti sejak tadi namun sengaja aku tahan. “Sekali lagi selamat ulang tahun sayang..”

Semoga dia punya semoga yang sama denganku

Dia Adalah
Semogaku

Tidak tahu harus aku mulai dari
mana ceritaku ini, tentangnya.

Seandainya bisa mencintai
sesorang tanpa ada ekspektasi,
pasti tidak akan ada istilah
patah hati.

Aku tidak mau patah hati
dengan seseorang ini.
Itu ekspektasi?
aku tidak peduli.

Tapi komitmenku sudah
memilihnya.

Karena dia adalah salah
satu perempuan yang
selalu dan sedang aku
perjuangkan
bahagianya. Setelah ibu
dan adik
perempuanku.

Doa ku cuma 1,  semoga kami bisa terus seperti ini. Bahagia, tanpa spasi.

Semoga dia juga punya semoga yang sama denganku.

Hanya Cinta Biasa (beberapa tahun lalu)

Ini tentang cerita cinta yang biasa saja. Tentang seorang pria yang berjalan di sebuah trotoar basah. Air hujan waktu itu menyamarkan genang air di matanya.

Tidak terjatuh. Air itu menggantung di pelupuk. Seperti rasa sesal yang tertumpuk. Bintik air mulai membasahi kemeja hitamnya. Tak ingin kebasahan, tapi melindunginya pun setengah hati.

Seolah tak takut pada rintik hujan, pria itu sama sekali tak mempercepat langkah kakinya. Sesekali ia menengok ke kiri. Toko dan kedai satu persatu ia lewati.

Kali ini dia meluruskan tangannya ke depan, hanya untuk menyingsingkan lengan kemejanya, lalu membengkokkan sikunya hingga pergelangan tangan mendekati dada. Jarum jam di jam tangan hitamnya menunjukkan pukul 20.57 malam.

Pria itu memperlambat langkahnya, melihat ke langit. Namun kini tak ada lagi titik air menjatuhi wajahnya. Hujan sudah reda. Ia bersandar di dinding sebuah toko roti. Seperti banyak yang dipikirkan, dahinya mengerut. Bola matanya menatap ke arah sudut kiri kelopaknya.

Tangannya mengepal. Ia memukul tembok. Kesal. Sekaligus terkejut. Ada sesosok pria terduduk satu setengah meter di kiri pria itu. Seorang pria lainnya. Sesosok pria tak berumah.

Gelandangan itu memegang sepotong kardus bertuliskan “uang, atau sebuah senyuman”.

Mata sang pria memincing. Namun kemudian ia tersenyum. Berjalan perlahan mendekati si gelandangan, merogoh kantung celana bahannya, kemudian membungkuk. Diberikannya beberapa keping koin kembalian membeli kopi tadi sepulangnya bekerja. Pria itu tersenyum sekali lagi.

Gelandangan itu bertanya, “Hendak ke mana, Nak?”

“Entahlah. Aku pun tak tahu.”

“Mengapa berjalan jika tak tahu tujuan?”

“Aku ingin bertemu seseorang.”

Gelandangan itu menatap wajah sang pria lebih dalam dari sebelumnya, sebelum kemudian mengangguk perlahan mengusap janggut putihnya yang lebat. “Mengapa kamu memberikan semuanya?”

“Aku hanya memberikanmu koin,” jawab sang pria sedikit terheran, “bahkan ini masih ada sisa koin di sakuku.”

“Bukan. Aku hanya meminta uang, atau sebuah senyuman.”

“Ah, iya. Kalau bisa memberi semua, mengapa harus salah satu?”

Gelandangan itu tersenyum. “Kejarlah, Nak. Jangan setengah-setengah.”

Sang pria terdiam. Matanya terbuka. Ada degupan kencang di dadanya seraya ia berdiri kembali. Seketika ia melanjutkan langkahnya. Mempercepatnya. Bukan. Berlari!

Bagian bawah kemejanya mulai mengering, hanya tinggal bagian bahunya saja yang basah. Pria itu berhenti di satu persimpangan. Tepat di depan sebuah kios majalah. Sang pria menatap ke arah tiang lampu lalu lintas.

Ia berbalik dan menoleh ke arah kios majalah. Sontak pikiran pria itu terlempar jauh ke belakang. Tergambar sosok perempuan berambut panjang, tak terlalu lurus, sedikit ikal. Hidungnya tak mancung, malah cenderung besar. Pipinya pun mengingatkan pria itu tentang bakpao yang sering dijadikannya bahan ejekan untuk sang perempuan. Pria itu memanggilnya “Ay”.

Pria itu ingat betul perempuan yang ada di bayangannya sekarang sering mengeluhkan dirinya gendut. Perempuan yang sering merasa gendut itu telah membuat sang pria kurus karena sering memikirkannya.

Setengah jam sudah sang pria berdiri di persimpangan jalan itu. Selama itu, ia menancapkan tatapan ke kios majalah. Menunggu. Pria itu sesekali melihat jam tangannya. Kali ini jam tangannya menunjukkan pukul 21.30 malam.

“Harusnya sudah lewat sini,” gumamnya.

Hingga “ay” akhirnya melewati kios majalah itu. Berbicara kepada penjaganya, menyerahkan sejumlah uang, dan mengambil majalah bergambar rumah di cover-nya.

Dengan keberanian terbesar yang selama ini ia kumpulkan, pria itu melangkah menghampiri “ay” . Berhenti dan berdiri tepat di hadapannya. “ay” terkejut, kemudian melihat dari kaki hingga kepala pria itu.

ay”, aku cuma ingin meminta maaf.”

ay langsung menjawab “Nggak ada lagi …”

Belum selesai  ay menjawab, pria itu menyambarnya. “Seumur hidupku aku nggak bisa hidup seperti ini. Hidup yang tanpa kamu di dalamnya.”

ay terdiam. Pipinya basah. “Aku yang harusnya minta maaf.”

ay melangkah ke arah kanan pria itu. Cepat.

Belum sempat pria itu mengejar, ay sudah disambut seorang pria dengan raut wajah agak kebingungan. Bahasa bibirnya menunjukkan, “Kamu kenapa?” bertanya kepada ay, kemudian melayangkan sebuah pelukan di pundak, dan mereka pergi.

Pria itu bergeming. Matanya basah. Yang bisa ia lakukan hanyalah merogoh sisa koin di kantung celananya, kemudian memandanginya.

Kini, dahinya hanya bisa mengerut, menahan air mata untuk tak jatuh. Hanya tak ingin kelihatan cengeng.

Namun ada yang tak biasa . Seolah-olah ada sebuah petir yang menghunjam denyut jantungnya berupa rasa sakit. Sakit luar biasa, yang semuanya bermuara pada satu rasa. Sesal.

Ini tentang cerita cinta yang biasa saja. Tentang seorang pria yang mencinta dengan biasa. Sebiasa ia bernapas. Saking biasa, hingga akhirnya sang pria tak bisa hidup dengannya.

Pagi Adalah Kamu

Pagi adalah di saat mimpi atau kenyataan tak lagi penting, yang penting ada kamu.

Pagi adalah ketika aku berpikir bahkan mimpi paling indah pun tak ada apa-apanya jika aku melihat kamu tersenyum walau hanya lewat FOTO.

Pagi adalah ketika aku memulai berdoa lagi melihat kamu tersenyum hari ini.

Pagi adalah semangat baru, membayangkan akan bertemu kamu yang tersenyum, meskipun bukan padaku.

Pagi adalah mencari-cari. Mencari kabar terbaru tentangmu.

Pagi adalah mengkhayal lagi, mengkhayal kamu adalah malaikat pagi itu sendiri.

Pagi adalah deg-degan membuka BBM di handphone, berharap itu dari kamu. Dan kecewa ketika tahu itu cuma dari orang lain

Pagi adalah… Saat aku rindu kamu.

*sebuah siratan yang akhirnya tersurat.

Yang Aku Butuh Cuma Lelah

Pria, dalam beberapa kesempatan memang lebih kuat dari perempuan. Lebih kuat secara fisik, secara logika, secara psikologis. Namun jauh di dalam dirinya, sesungguhnya pria sangatlah lemah. Mereka hanya berusaha kuat, agar terlihat kuat di depan perempuan, dan tentunya di depan pria yang lain. Jauh di dalam dirinya, pria adalah makhluk paling manja dan kekanak-kanakan. Pria yang sudah  punya pekerjaan yang baik, penghasilan yang baik, lalu berefek pada tubuh dan penampilan yang rupawan, yang terlihat sudah sempurna, itu hanya luarnya saja. Ketika ia pulang, merebahkan diri, yang ia inginkan hanyalah pelukan hangat, hanyalah belaian lembut, hanyalah obrolan renyah.

Seperti sudah takdir seorang pria –yang selalu jadi pemikir– akan sesekali terbersit dalam benaknya banyak pertanyaan,

Yang aku cari ini untuk siapa?

Aku bahagia, tapi bahagiaku harus kubagi dengan siapa?

Akhirnya semua pertanyaan itu menampar dan menyadarkan bahwa,

Bahagia yang sendirian lebih menyedihkan daripada menangis sendirian.

 

Beruntungnya aku sudah merasa lelah.

Sehingga kini, aku bisa menjawab semua pertanyaan itu.

Ternyata aku tidak butuh yang sempurna. Aku hanya butuh dia yang bisa memperbaiki aku.

Ternyata aku tidak butuh yang sempurna. Aku hanya butuh dia yang menenangkan dan selalu bisa menjadi teman berbagi.

Ternyata aku tidak butuh yang sempurna. Aku hanya butuh yang bahkan ketika aku sedang mengalami hari terburuk pun, yang aku ingin hanyalah untuk berada di sampingnya.

Ternyata aku tidak butuh yang sempurna. Aku hanya butuh kamu, yang tidak sempurna di mata semua orang, tetapi sempurna di mata dan hatiku sendiri.

TENTANG KESENDIRIAN

Apa yang salah dengan sendiri?

Banyak orang dalam sebuah perkumpulan teman jadi bulanan-bulanan di-bully karena telah sendiri dalam kurun waktu tahunan. Mungkin itu terasa menyenangkan, awalnya. Di depan, mungkin dia baik-baik saja. Tapi apa kamu bisa mastiin kalau setiap malam sebelum dia tidur, dia nggak memikirkan dan merenungkan kenapa dia sampai saat ini masih sendiri?

Memang ada yang salah dengan orang yang sendiri? Sendiri itu hak. Lebih dari itu, sendiri adalah pilihan. Meskipun kadang-kadang itu jadi pilihan terakhir karena nggak pernah jadi pilihan, tapi untuk sendiri tetaplah sebuah pilihan.

Banyak orang yang suka ngeledekin temannya karena teman itu betah sendiri, seolah menjadi sendiri adalah sebuah aib. Padahal, dengan berdua nggak selalu membuat semua keadaan lebih baik.

Mereka semua –yang sendiri– pastilah punya alasan yang jelas mengapa mereka terus sendiri dalam waktu yang lama, beberapa di antaranya…

Nggak Mau Ribet

Orang yang betah sendiri biasanya adalah mereka yang paling males kegiatan dan keasyikannya diganggu sama hal-hal yang terlalu menuntut apalagi sampai drama. Mereka ogah ribet-ribet harus ngabarin setiap lagi main futsal. Mereka males kalo main futsal aja harus laporan.

 

Prioritas

Salah satu tolok ukur kedewasaan adalah bisa menentukan skala prioritas. Mana yang paling penting buat dia, akan dia duluin. Mana yang mendukung dan melancarkan, akan dikejar, yang menyusahkan dan menghambat, ditinggalin.

Dalam beberapa kasus, gue sering dapet cerita dari orang-orang yang cukup dekat dengan gue (kebanyakan cowok) yang lagi di usia produktif, lagi giat-giatnya bekerja. Buat apa kerja keras? Kata mereka, buat masa depan, supaya nanti bisa membahagiakan dirinya dan keluarga yang akan dibangunnya nanti bersama sang pacar (saat itu). Namun apa yang terjadi? Nggak jarang dari mereka yang putus di tengah jalan. Karena apa? Karena yang sedang diperjuangkan nggak ngerti. Ketika si orang itu kerja keras buat orang lain yang dia sayang, di sisi lain orang lain yang disayang itu malah nggak bisa ngertiin dan terlalu banyak nuntut.

Karena sudah terlalu lelah mencari pasangan yang bisa diajak ‘mendaki’ bersama untuk mencapai puncak, lalu menentukan bahwa masa depannya adalah prioritasnya dan dia nggak mau diganggu dengan drama sepele, akhirnya orang itu memutuskan untuk ‘mendaki’ sendiri saja.

 

Lelah

Alasan ini biasanya terjadi kepada orang yang pernah mencintai sebegitu besarnya, lalu dikecewakan sebegitu dalamnya.

Belum

Bagi beberapa orang yang sangat ingin membahagiakan pasangannya, biasanya akan cenderung minder kalau dia belum punya apa-apa. Makanya, daripada mengecawakan, mereka lebih memilih menunggu sampai punya sesuatu yang bisa dibanggakan, lalu baru kemudian mencari.

Mencari yang Terbaik

Terlalu idealis, pengen memperbaiki keturunan, dan tuntutan orang tua biasanya jadi alasan orang-orang yang menganut poin ini.

Pertanyaan adalah (bisa kamu klik kemudian baca): Sampai Kapan Terus Mencari?

Menunggu

Dalam kondisi ini, orang yang betah sendiri itu sebenarnya bukan sedang betah sendiri, melainkan dia terpaksa sendiri. Karena apa? Karena orang yang dia inginkan untuk menemaninya sedang menjadi milik orang lain. Maka dari itu, harus menunggu sampai mereka berpisah dulu.

Orang paling menyedihkan adalah yang mau jadian aja harus nunggu orang lain putus dulu.

Untuk kasus UN ini, ada juga yang alasannya sesederhana menunggu UN. Jadi, dia suka sama orang, tapi orang itu lagi mau UN, makanya sia-sia juga kalau ditembak sekarang pasti ditolak dengan alasan mau fokus UN. Oleh karenanya, dia jadi nunggu UN kelar dulu baru deh gerak.

Kalau cerita ini dijadiin FTV, judulnya adalah: CINTAKU HARUS MENUNGGU UN.

Masalahnya adalah: Setelah UN mending jadiannya sama kamu, tapi kalau sama orang lain? Ya nunggu lagi.

Keadaan paling parah di poin ini adalah ketika kamu adalah seorang cewek. Dengan menganut prinsip “AKU KAN CEWEEEEEK…” dapat dipastikan dia hanya bisa menunggu, menunggu, dan menunggu.

Pertanyaannya adalah (bisa kamu klik dan baca juga): Yakin Kamu Rela?

Tidak Pernah Dipilih

Ini adalah alasan terakhir dan jadi alasan yang paling masuk akal (tetapi biasanya ditutup-tutupi dengan pernyataan “GUE BUKAN JOMBLO! GUE SINGLE!”). Ngenesnya, yang kena poin ini bukan cuma karena nggak pernah dipilih, tapi bahkan jadi pilihan pun nggak.

 

Intinya adalah, apa pun yang jadi alasan orang untuk betah sendiri, pasti ada satu waktu dalam hidupnya ketika dia dilanda kesepian.

Otak manusia itu seperti molekul tidak stabil, nggak pernah berhenti bergerak dan sensitif bisa ‘mental’ ke mana aja, bisa mental ke mikirin kerjaan, mental ke mikirin pelajaran, dan berarti bisa mental juga ke mikirin kesendirian.

Bahkan orang yang udah punya pacar pun masih bisa terjangkit hal itu.

Apa yang menjadi penyebab utamanya? Nggak ada kerjaan.

Makanya, orang yang bijak dan nggak mau menyiksa dirinya dengan pikiran-pikiran negatif akan mencari cara supaya otaknya tetap bekerja ke arah yang lebih positif (tentunya yang selain mikirin kesendirian). Dengan cara apa? Dengan mengerjakan hobi dan mencari kesibukan.

Kalau kamu bertemu orang yang sehari-harinya sibuk banget, mungkin sebenarnya dia adalah orang paling kesepian. Dia menyibukkan diri hanya supaya nggak terperangkap dalam kesendirian. Tapi setidaknya, itu lebih baik.

Dengan tulisan ini, wahai teman-temanku, marilah kita cari kegiatan supaya terhindar dari kesepian dan kesendirian. Membaca, olahraga, mendaki gunung, menggambar, berfoto, memasak, makan, beres-beres rumah, bersepeda, tidur, nonton, dengerin musik, lakukan apa pun yang kamu suka, apa pun, supaya pikiran nggak ‘mental’ ke arah yang nggak diinginkan.

Semoga kita semua terhindar dari pikiran-pikiran negatif yang hadir ketika sendiri. Lebih dari itu, semoga kita semua bisa mengatasi kesepian.

Tetap sibuklah.

***

Yang manakah yang pernah (atau mungkin masih) jadi alasan kamu untuk sendiri?

MENUNGGU ATAU PERGI ?

Pada akhirnya kita memang dihadapkan pada dua pilihan, menunggu atau pergi?

Tak terkecuali saya, situasi di mana kita harus jeli untuk lebih memilih hati atau pikiran bahkan memilih untuk menyeimbangkan keduanya.

Ada satu hal yang membuat kita memilih untuk menunggu, biasanya karena seseorang yang kita cinta, seseorang yang di rindukan tiap harinya. Satu hal yang lainnya adalah hati. Hatimu apa kabar? Akankah terus baik-baik saja saat kau memutuskan untuk menunggu? Saya pikir hati takkan pernah baik-baik saja saat keputusan itu diambil, entah dalam waktu lama atau sebentar. Karena banyak alasan. Pernah tahu mencintai dengan diam? Mencintai dari jauh? Mencintai karena alasan-alasan tak tentu? Memang, takkan pernah ada satu alasan pun kenapa mesti cinta.

Pergi berlalu pun seperti menunggu, hati terpaksa merawat sendiri lukanya. Dengan merelakan segala yang pernah kita anggap sebuah pertemuan menjadi sebuah kehilangan yang percuma. Karena tak sekali pun ada rasa yang demikin juga dirasa olehnya. Bukan begitu? Tapi kau tahu bukan, kalau sebuah kehilangan adalah awal dari menemukan yang lainnya. Sekiranya hatimu terhempas, sakit memang. Namun pada akhirnya, akan ada seorang dia yang membantu merawat lukamu sampai sembuh, sampai benar-benar sembuh.

Kuncinya adalah, mengikutsertakan Tuhan dalam setiap perkara hati . Karena kamu bisa lebih tahu mana yang benar mencintai atau mengagumi. Dengan sendirinya, Tuhan akan kasih pengertian itu untukmu. Juga tak melulu memelihara ego sehingga ia tumbuh besar di dirimu. Seperti, kamu memutuskan untuk menunggu tapi tanpa tahu baru saja kamu menyakiti dirimu sendiri untuk kesekian kali. Padahal kamu harusnya sadar, jangan sampai orang yang kamu abaikan sekarang adalah sosok yang kamu cari dan ingini selama ini. Jangan sampai.

PERTEMUAN DAN PERPISAHAN

Banyak orang yang bilang kalau kita bisa belajar dari mana aja. Tapi kadang kita gak pernah nyangka kalau kita bisa belajar berharganya sebuah pertemuan dari pedihnya sebuah perpisahan. Kita bisa tahu bagaimana pentingnya sebuah pertemuan, setelah kaget bahwa itu adalah pertemuan terakhir.

Ketika kita melakukan pertemuan terakhir dengan seseorang, yang paling sakit adalah ketika kita berpikir bahwa tidak akan ada pertemuan lagi setelahnya.

Ada peribahasa yang kita tahu dari kecil, “jika ada pertemuan, maka akan ada perpisahan”, peribahasa itu sungguh jujur, benar, namun mengatakan kenyataan yang menyakitkan. Bagaimana enggak, ketika kita lagi pingin banget bertemu dengan seseorang, di waktu yang sama kita juga harus tahu bahwa nantinya pertemuan itu hanya akan berakhir dengan perpisahan. Tak adakah peribahasa yang bilang kalau “jika ada pertemuan, maka tidak akan ada perpisahan”?

Kita kadang mikir, yaudah lah gak usah bertemu, gak usah bikin hal-hal yang berkesan, karena semua bakal berakhir dengan perpisahan. Tapi kalau mikir kayak gitu, itu artinya kita pesimis. Justru karena tahu akan ada perpisahan, kita harus membuat pertemuan yang sangat berkesan. Walaupun berpisah nanti, setidaknya ada kesan yang selalu bisa kita ingat. Selalu bisa kita kenang.

Sesingkat apapun pertemuan kita dengan seseorang, buatlah kesan yang membekas untuk dia dan untuk kita. Sependek apapun waktu yang kita punya untuk menemui orang yang kita sayangi, gunakanlah walau hanya untuk mengucapkan “aku cinta kamu”.

Kalau pertemuan adalah pertanyaan, sesungguhnya perpisahan adalah jawaban yang menyakitkan. Tapi itu gak bisa kita hindarkan, kita juga harus siap menerima kenyataan. Untuk dia yang selalu kita rindukan, mari kita buat kenangan yang menyenangkan.

‘SURAT DIAM’

Entah sudah berapa hari aku memutuskan untuk diam.
Semua memang bicara waktu. Waktu untuk menegaskan apa yang aku rasa, waktu untuk menegaskan sampai kapan aku harus memendam sebuah rasa.
Lagi dan lagi, Tuhan yang menentukan dari setiap rencana yang telah kita siapkan. Dia yang dihrapkan agar sekedar tahu apa yang aku rasakan belum juga sadar, kalau ada yang menunggunya dengan diam, dengan cinta yang amat terlalu. Kalau ada yang merindunya dengan diam,
“Banyak diam, makin dalam rindunya.”
“Banyak diam, makin tulus cintanya.”
Apa diam selalu emas? Sesekali memang begitu. Tapi bagaimana dengan diam yang aku rasa? Emas? Atau justru sebuah cemas,. entahlah
semoga kau membaca surat diamku yang pertama. Surat diam seorang pendiam yang hatinya tak juga dibawa rasa pantas untuk mencintai dan dicintaimu.