Hanya Cinta Biasa (beberapa tahun lalu)

Ini tentang cerita cinta yang biasa saja. Tentang seorang pria yang berjalan di sebuah trotoar basah. Air hujan waktu itu menyamarkan genang air di matanya.

Tidak terjatuh. Air itu menggantung di pelupuk. Seperti rasa sesal yang tertumpuk. Bintik air mulai membasahi kemeja hitamnya. Tak ingin kebasahan, tapi melindunginya pun setengah hati.

Seolah tak takut pada rintik hujan, pria itu sama sekali tak mempercepat langkah kakinya. Sesekali ia menengok ke kiri. Toko dan kedai satu persatu ia lewati.

Kali ini dia meluruskan tangannya ke depan, hanya untuk menyingsingkan lengan kemejanya, lalu membengkokkan sikunya hingga pergelangan tangan mendekati dada. Jarum jam di jam tangan hitamnya menunjukkan pukul 20.57 malam.

Pria itu memperlambat langkahnya, melihat ke langit. Namun kini tak ada lagi titik air menjatuhi wajahnya. Hujan sudah reda. Ia bersandar di dinding sebuah toko roti. Seperti banyak yang dipikirkan, dahinya mengerut. Bola matanya menatap ke arah sudut kiri kelopaknya.

Tangannya mengepal. Ia memukul tembok. Kesal. Sekaligus terkejut. Ada sesosok pria terduduk satu setengah meter di kiri pria itu. Seorang pria lainnya. Sesosok pria tak berumah.

Gelandangan itu memegang sepotong kardus bertuliskan “uang, atau sebuah senyuman”.

Mata sang pria memincing. Namun kemudian ia tersenyum. Berjalan perlahan mendekati si gelandangan, merogoh kantung celana bahannya, kemudian membungkuk. Diberikannya beberapa keping koin kembalian membeli kopi tadi sepulangnya bekerja. Pria itu tersenyum sekali lagi.

Gelandangan itu bertanya, “Hendak ke mana, Nak?”

“Entahlah. Aku pun tak tahu.”

“Mengapa berjalan jika tak tahu tujuan?”

“Aku ingin bertemu seseorang.”

Gelandangan itu menatap wajah sang pria lebih dalam dari sebelumnya, sebelum kemudian mengangguk perlahan mengusap janggut putihnya yang lebat. “Mengapa kamu memberikan semuanya?”

“Aku hanya memberikanmu koin,” jawab sang pria sedikit terheran, “bahkan ini masih ada sisa koin di sakuku.”

“Bukan. Aku hanya meminta uang, atau sebuah senyuman.”

“Ah, iya. Kalau bisa memberi semua, mengapa harus salah satu?”

Gelandangan itu tersenyum. “Kejarlah, Nak. Jangan setengah-setengah.”

Sang pria terdiam. Matanya terbuka. Ada degupan kencang di dadanya seraya ia berdiri kembali. Seketika ia melanjutkan langkahnya. Mempercepatnya. Bukan. Berlari!

Bagian bawah kemejanya mulai mengering, hanya tinggal bagian bahunya saja yang basah. Pria itu berhenti di satu persimpangan. Tepat di depan sebuah kios majalah. Sang pria menatap ke arah tiang lampu lalu lintas.

Ia berbalik dan menoleh ke arah kios majalah. Sontak pikiran pria itu terlempar jauh ke belakang. Tergambar sosok perempuan berambut panjang, tak terlalu lurus, sedikit ikal. Hidungnya tak mancung, malah cenderung besar. Pipinya pun mengingatkan pria itu tentang bakpao yang sering dijadikannya bahan ejekan untuk sang perempuan. Pria itu memanggilnya “Ay”.

Pria itu ingat betul perempuan yang ada di bayangannya sekarang sering mengeluhkan dirinya gendut. Perempuan yang sering merasa gendut itu telah membuat sang pria kurus karena sering memikirkannya.

Setengah jam sudah sang pria berdiri di persimpangan jalan itu. Selama itu, ia menancapkan tatapan ke kios majalah. Menunggu. Pria itu sesekali melihat jam tangannya. Kali ini jam tangannya menunjukkan pukul 21.30 malam.

“Harusnya sudah lewat sini,” gumamnya.

Hingga “ay” akhirnya melewati kios majalah itu. Berbicara kepada penjaganya, menyerahkan sejumlah uang, dan mengambil majalah bergambar rumah di cover-nya.

Dengan keberanian terbesar yang selama ini ia kumpulkan, pria itu melangkah menghampiri “ay” . Berhenti dan berdiri tepat di hadapannya. “ay” terkejut, kemudian melihat dari kaki hingga kepala pria itu.

ay”, aku cuma ingin meminta maaf.”

ay langsung menjawab “Nggak ada lagi …”

Belum selesai  ay menjawab, pria itu menyambarnya. “Seumur hidupku aku nggak bisa hidup seperti ini. Hidup yang tanpa kamu di dalamnya.”

ay terdiam. Pipinya basah. “Aku yang harusnya minta maaf.”

ay melangkah ke arah kanan pria itu. Cepat.

Belum sempat pria itu mengejar, ay sudah disambut seorang pria dengan raut wajah agak kebingungan. Bahasa bibirnya menunjukkan, “Kamu kenapa?” bertanya kepada ay, kemudian melayangkan sebuah pelukan di pundak, dan mereka pergi.

Pria itu bergeming. Matanya basah. Yang bisa ia lakukan hanyalah merogoh sisa koin di kantung celananya, kemudian memandanginya.

Kini, dahinya hanya bisa mengerut, menahan air mata untuk tak jatuh. Hanya tak ingin kelihatan cengeng.

Namun ada yang tak biasa . Seolah-olah ada sebuah petir yang menghunjam denyut jantungnya berupa rasa sakit. Sakit luar biasa, yang semuanya bermuara pada satu rasa. Sesal.

Ini tentang cerita cinta yang biasa saja. Tentang seorang pria yang mencinta dengan biasa. Sebiasa ia bernapas. Saking biasa, hingga akhirnya sang pria tak bisa hidup dengannya.

Tinggalkan komentar