‘SURAT DIAM’

Entah sudah berapa hari aku memutuskan untuk diam.
Semua memang bicara waktu. Waktu untuk menegaskan apa yang aku rasa, waktu untuk menegaskan sampai kapan aku harus memendam sebuah rasa.
Lagi dan lagi, Tuhan yang menentukan dari setiap rencana yang telah kita siapkan. Dia yang dihrapkan agar sekedar tahu apa yang aku rasakan belum juga sadar, kalau ada yang menunggunya dengan diam, dengan cinta yang amat terlalu. Kalau ada yang merindunya dengan diam,
“Banyak diam, makin dalam rindunya.”
“Banyak diam, makin tulus cintanya.”
Apa diam selalu emas? Sesekali memang begitu. Tapi bagaimana dengan diam yang aku rasa? Emas? Atau justru sebuah cemas,. entahlah
semoga kau membaca surat diamku yang pertama. Surat diam seorang pendiam yang hatinya tak juga dibawa rasa pantas untuk mencintai dan dicintaimu.

 

Tinggalkan komentar